JAMBORE NASIONAL FOTOGRAFER INDONESIA, SILATURAHMI FOTOGRAFER LINTAS GENERASI

Kamis, 1 September 2022 | 13:41 WIB

Jambore Nasional Fotografer Indonesia Dibuka Oleh Ibu Khofifah


Saya memulai risalah ini dari jarak sekitar 850 kilometer dari kawasan Gunung Bromo, tempat berlangsungnya Jambore Nasional Fotografer Indonesia (JNFI) 2022. Acara penutupan sudah lewat lebih dari dua hari sejak kalimat pertama saya torehkan, namun keseruan, pertemuan dan percakapan, serta sorak-sorai ketika hunting foto masih belum mau beranjak dari ingatan.

Ini adalah tahun pertama Yayasan Fotografi Indonesia menggelar JNFI dengan dukungan Kemparekraf, Pemprov Jawa Timur dan beberapa sponsor, seperti Consina dan Tamron. Di akhir acara, Arbain Rambey menyebutkan, JNFI adalah pertemuan para pegiat, penyuka fotografi, dan fotografer profesional tanpa sekat-sekat politis, merek kamera dan intrik-intrik. Jadilah acara jambore ini sebagai pertemuan dalam kegembiraan. Dan saya adalah bagian dari kegembiraan itu, di antara ratusan peserta yang lain.

Latar belakang peserta, mentor dan tamu undangan yang datang pun beragam. Sebut saja dari tingkat usia misalnya, yang mungkin menjadi tolok ukur paling umum, jambore ini dihadiri oleh fotografer dari tingkat mahasiswa hingga fotografer berusia senja yang sudah beranak cucu. Ini menjadi semacam simbol semangat baru, bahwa ikatan persaudaraan di antara para fotografer tak mengenal usia. JNFI menjadi semacam ajang silaturahmi fotografer lintas generasi.

Di luar soal usia, keragaman spesialisasi atau genre foto juga bisa kita lihat dari agenda workshop dan kegiatan memotret yang dijadwalkan beserta mentor masing-masing. Bagi mereka yang menyukai perjalanan dan ingin merekam keindahan alam, bisa belajar dengan Ranar Pradipto. Atau mereka yang ingin belajar foto portrait dan tata lampu studio, boleh berguru dengan Darwis Triadi serta Martha Suherman. Meskipun, menurut saya, tiga hari bukanlah waktu yang cukup untuk langsung cakap dalam memotret. Tiga hari terlalu pendek untuk memenuhi kebutuhan seluruh peserta dengan berbagai latar belakang dan tingkat kemampuan fotografinya. Akan tetapi, jambore ini diharapkan menjadi ajang jejaring untuk bisa belajar langsung kepada para ahli di bidang masing-masing.

Di bawah langit senja, di atas lautan pasir kaki Gunung Bromo yang populer dengan sebutan “Pasir Berbisik”, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, turun langsung membuka acara gelaran JNFI yang berlangsung selama 3 hari sejak acara pembukaan pada 26 Agustus 2022. Selain acara seremonial, Gubernur Jawa Timur juga didaulat untuk ikut memotret penunggang kuda didampingi fotografer senior, Darwis Triadi.

Keseruan JNFI sudah muncul sejak acara pembukaan. Bayangkan, semua yang hadir di acara itu, selain dari pihak Pemprov Jatim dan Kemenparekraf adalah juru foto. Naluri seorang fotografer adalah mengabadikan momen. Begitu Gubernur Jatim menapakkan kaki, tak ayal hampir semua yang hadir di situ langsung mengarahkan kameranya ke Sang Gubernur. Suara rana kamera bersahut-sahutan. Kehebohan masih berlanjut usai acara seremonial dengan acara foto dan swafoto. Khofifah seolah magnet yang membuat semua orang tak bisa untuk tidak memotret atau pun berswafoto.

Gubernur Khofifah dan rombongan beranjak dari Pasir Berbisik, ketika matahari sama sekali sudah tak terlihat di ufuk barat. Senja sudah berlalu. Angin gunung berdesir, menyapu hamparan pasir di sepanjang mata memandang. Saya merapatkan jaket, mengusir hawa dingin yang mulai menyerang dengan sengit. Masih di tempat yang sama, acara berlanjut dengan sharing dan bincang-bincang dengan para mentor dan tamu undangan yang merupakan fotografer profesional.

Kami menutup malam hari pertama JNFI dengan workshop yang diisi oleh Arbain Rambey dan Darwis Triadi. Bertempat di aula Hotel Bromo Permai, acara workshop berlangsung menarik dan interaktif. Arbain Rambey mengawali workshop dengan perkembangan fotografi dan teknologi fotografi. Darwis Triadi kemudian melanjutkan dengan tema “Memahami Arah Cahaya”. Darwis Triadi langsung mendemokan cara pemotretan menggunakan satu lampu studio. Kehebohan terjadi ketika Darwis Triadi mendaulat Martha Suherman, yang adalah fotografer profesional, untuk berperan sebagai model pada sesi workshopnya.

Tak berhenti di situ, usai Martha turun, kini giliran Darwis memanggil Alain Compost untuk naik ke panggung model. Bak model profesional, Alain, yang biasanya memotret satwa dan vegetasi di tengah hutan, bergaya di bawah arahan Darwis Triadi. Adanya “model dadakan” pada sesi workshop malam ini cukup mencairkan dan menambah seru suasana.

Berburu Matahari Terbit di Tengah Halimun Bromo





Saya terbangun oleh alarm yang saya setel di ponsel saya. Dingin udara dini hari menusuk-nusuk. Membuat setan malas berbisik untuk kembali menarik selimut. Di sinilah peperangan itu. Perang batin antara melanjutkan kenyamanan atau bangun dan menembus gelap dan dingin malam.

Akhirnya, setan kalah. Saya menyingkap selimut, berjalan ke kamar mandi dan mencuci muka. Dingin langsung menyergap begitu air menempel di kulit saya. Air hangat, yang menjadi fasilitas standar hotel besar dan keunggulan penginapan daerah pegunungan, hanya membantu sekadar tidak membekukan badan. Selebihnya, dingin udara pegunungan tetap tak terperi.

Saya berjalan keluar penginapan. Di sepanjang jalan, mobil jip sudah berbaris mengular hingga di gerbang masuk Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Mobil jip adalah kendaraan paling jamak dipakai wisatawan selain kuda dan ojek. Menurut sopir jip yang mengantar kami, ada sekitar 500 mobil jip yang beroperasi di kawasan Bromo dan sekitarnya. Satu mobil berisi 5 sampai 6 penumpang dengan harga sewa bervariasi tergantung jarak yang ditempuh. Arak-arakan mobil pengantar wisatawan ini menjadi pertanda ekonomi wisata di kawasan Gunung Bromo mulai hidup setelah dua tahun mati suri karena pandemi.

Saya sudah sampai di Lava View Lodge, tempat peserta berkumpul. Satu persatu orang-orang mulai berdatangan. Pun dengan kendaraan yang akan mengantar kami. Tujuan kami pagi ini, menurut jadwal yang saya terima adalah hunting foto di Bukit Widodaren yang akan dipandu oleh Ranar Pradipto, seorang fotografer perjalanan.

Jip yang kami tumpangi mulai melaju, menembus kegelapan malam melewati hamparan pasir dan akhirnya berhenti di sebelah pura Luhur Ponten. Selanjutnya kami menapaki jalanan berpasir dan menanjak di pekat dini hari. Belakangan saya baru tahu, mendaki lereng Gunung Bromo. Kaki-kaki kami menggerus pasir, setiap kali melangkah. Sesekali kami berhenti untuk menghimpun energi. Di punggung Gunung Bromo, Ranar Pradipto memberi komando untuk berhenti dan mencari lokasi yang aman untuk memotret.

Satu demi satu kami menemukan lokasi untuk mendirikan tripod, berdiri berjajar-jajar sesuai arahan mentor. Sungguh tidak mudah melakukan pemotretan di lokasi yang sempit dan miring dengan peserta puluhan orang. Kami harus berbagi tempat dan berusaha untuk tidak menghalangi satu sama lain. Saya sendiri sudah memasang tripod, lalu mengotak-atik pengaturan di kamera dan mulai memencet rana sekali dua kali sebagai percobaan.

Warna langit mulai berpendar di arah timur, pertanda cahaya pagi mulai muncul. Ranar Pradipto kemudian memanggil tukang kuda, kemudian menempatkan kuda dan pawangnya beberapa meter di depan kami. Siluet kuda dan pemiliknya mulai terlihat di temaram cahaya. Di bawah cahaya emas matahari, kabut tipis mengapung di sepanjang lereng gunung. Sesekali berhembus membentuk gulungan tebal, sesekali menipis terbawa angin.

Beberapa kali Ranar memberi komando mengatur pemilik kuda dan kudanya untuk berpose. Sementara kami, para peserta acara pagi itu, terus memotret dan mengeksplorasi keindahan lereng Gunung Bromo dari berbagai sudut. Keindahan garis-garis aliran lahar dan punggung bukit-bukit berpadu dengan cahaya matahari dan kabut tipis.

Di tempat dan waktu yang berjarak, hari kedua acara JNFI diisi dengan tiga sesi pemotretan dengan 3 mentor dan genre foto yang berlainan. Saya mangikuti sesi memotret pemandangan bersama mentor Ranar Pradipto, sementara sebagian lain ikut hunting foto model bersama mentor Martha Suherman dan Darwis Triadi.

Fotografer Kondang yang Membumi





Sepatutnya peraturan tersebut efektif berlaku sejak ditanda tangani oleh Preside Joko Widodo, namun dari beberapa diskusi yang terjadi pada saat kegiatan sosialisasi tersebut, masih dibutuhkan persiapan, perhitungan serta aturan teknis yang sangat matang bagi para pihak yang terlibat di dalam beleid tersebut, khususnya bagi para lembaga keuangan yang nanti akan menjadi kreditur.

Di antara hadirin, selain peserta ada beberapa tamu undangan dan fotografer senior yang sudah malang melintang di dunia fotografi selama puluhan tahun. Dua di antara fotografer tamu yang hadir adalah fotografer senior Don Hasman dan Alain Compost. Dua nama ini sudah tak asing di antara para fotografer dunia. Nama Don Hasman, di tahun 2000, dinobatkan oleh negara Prancis sebagai “100 Famous Photographers in the World”. Selain itu, ia juga telah banyak menerbitkan buku dan mendapat penghargaan yang lain. Lebih dari setengah abad, Don Hasman blusukan ke pedalaman Suku Baduy untuk merekam kehidupan dan budaya mereka. Don Hasman mempunyai andil besar dalam merawat kelangsungan suku dan budaya nusantara melalui karya-karyanya.

Tokoh senior lain adalah Alain Compost. Alain adalah fotografer kehidupan alam liar berkebangsaan Prancis yang telah keluar masuk rimba di Indonesia selama hampir setengah abad, sejak ia memilih meninggalkan negaranya dan menetap di Indonesia tahun 1975. Sejak itu, ia terus mengabadikan kehidupan alam liar Indonesia melalui foto dan video. Lewat laman Youtube-nya, ia mengungkapkan memiliki 200 ribu katalog foto kehidupan alam liar Indonesia dan Asia Tenggara. Lewat karyanya, Alain merekam kehidupan alam liar yang semakin ke sini semakin rawan.

Nama besar dua fotografer di atas jauh bertolak belakang dengan sikap mereka yang begitu ramah dan rendah hati. Ketenaran dan karya Don Hasman dan Alain Compost tak membuat mereka berdiri di Menara gading. Terbukti pada acara JNFI kemarin keduanya bisa berbaur dengan anak-anak mudah yang usianya 3 atau 4 kali di bawah mereka. Sebaliknya, saya melihat sendiri bagaimana Don Hasman bisa “ngemong” anak-anak muda. Misalnya, ketika dia diajak foto bareng, ia sendiri yang akan mengarahkan gaya orang yang mengajaknya foto. Malah, sesekali ia juga yang mengarahkan fotografernya harus mengambil angle dari mana.

Cerita bagaimana Alain Compost menjadi model pemotretan fotografer Martha Suherman ketika workshop pada malam kedua, menjadi tanda Alain adalah fotografer yang “membumi”. Ia pasrah saja ketika Martha mengarahkan pose, sementara punggung dan tengkuknya disinari senter. Martha Suherman menyuruh Alain menengok ke belakang, ia turut. Disuruh berbalik badan dengan aba-aba dan hitungan, Alain juga tak canggung. Padahal, ratusan pasang mata hadirin mengarah kepadanya.

Saya sendiri kagum bagaimana mereka begitu rendah hati untuk tak segan bergaul, dan bahkan “dikerjain” oleh fotografer yang usianya jauh di bawahnya. Padahal, soal pengalaman, baik dalam hidup maupdun di dunia fotografi, Don Hasman dan Alain Compost, butuh ribuan halaman untuk dituliskan.

Barangkali selaras dengan ungkapan Darwis Triadi di pengujung workshopnya di malam pertama acara JNFI, “jadi fotografer itu tidak boleh sotoy dan songong.” Inilah yang tercermin pada kepribadian kedua tokoh yang saya singgung di atas. Dan Barangkali, cerita hanya sekelumit dari sekian legenda yang sudah banyak di ulas di berbagai media. Nama-nama seperti Don Hasman, Alain Compost, Arbain Rambey, Darwis Triadi, dan Martha Suherman adalah nama-nama yang menjadi inspirasi bagi para fotografer generasi kiwari, termasuk saya.

Akhirnya, dengan segala kekurangannya, Jambore Nasional Fotografer Indonesia telah membuka sekat antargenerasi untuk melebur. Dan, sebagai orang yang masih hijau soal pengalaman fotografi, saya berharap JNFI tak berhenti di tahun ini. Saya berdoa Jambore Nasional Fotografi Indonesia terus berkembang di tahun-tahun mendatang.

Oleh : Mujibur Rohman
Foto : Fotografer Indonesia, Mujibur Rohman
Sumber : JAMBORE NASIONAL FOTOGRAFER INDONESIA, SILATURAHMI FOTOGRAFER LINTAS GENERASI