Perang Obor, Tradisi Tolak Bala di Jepara

Senin, 12 Juni 2023 | 18:08 WIB

Berpakaian panjang dilengkapi topi dan penutup wajah, peserta Perang Obor saling pukul (5/6/2023)

Perang Obor di Desa Tegalsambi, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah berlangsung meriah pada Senin malam (5/7/2023). Sorai ribuan penonton pecah saat peserta perang saling pukul menggunakan obor menyala sebagai senjata.

Dahulu, tradisi ini dipercaya untuk penolak bala. Menurut Agus Santoso, Petinggi Desa Tegalsambi, Perang Obor merupakan puncak dari sedekah bumi yang selalu digelar tiap bulan Dzulhijjah, tepatnya Senin Pahing atau malam Selasa Pon dalam penanggalan Jawa.

Rangkaian prosesi sudah dimulai dari selapan (tiga puluh lima dalam bahasa Jawa) yang lalu dengan berziarah ke makam-makam leluhur. “Setidaknya terdapat sembilan makam. Hal ini dilakukan agar generasi muda mengerti bagaimana asal-usul desa serta siapa saja tokoh dibaliknya,” terang Agus di kantornya, Balai Desa Tegalsambi.

Agus menjelaskan lebih lanjut bila tradisi ini bermula dari Kiai Babadan dan Kiai Gemblong. Kurang lebih 500 tahun lalu, Kiai Gemblong dipercaya untuk membantu mengurus ternak milik Kiai Babadan. Semua berjalan lancar sampai suatu hari Kiai Babadan mendapati ternaknya diserang penyakit, bahkan mati. Kiai Babadan menganggap Kiai Gemblong tidak bisa melaksanakan tugasnya.

Amarah Kiai Babadan kian memuncak, tatkala melihat Kiai Gemblong yang sedang memancing. Sontak Kiai Babadan mencabut obor yang waktu itu digunakan sebagai penerangan. Obor itu dipukulkan kepada Kiai Gemblong. Merasa tak terima, Kiai Gemblong membalasnya menggunakan blarak yang diambil dari tepian kendang.

Produk kain batik buatan anak-anak SMK dengan corak yang terinspirasi dari Perang Obor (5/6/2023)

Sesaat setelah perang, hewan ternak Kiai Babadan malah lari tunggang-langgang. “Bagi mereka ‘roh jahat’ telah pergi sehingga ternaknya sehat kembali. Namun seiring pengetahuan tentang agama berkembang, sekarang Perang Obor diteruskan sebagai tradisi. Pun sudah mendapat piagam sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bahkan saat ini tersedia motif batik Perang Obor hasil kreasi anak-anak SMK,” tutur Agus menutup ceritanya.

Rombongan Fotografer Indonesia bersama Petinggi Desa Tegalsambi, Agus Santoso di kantornya (5/6/2023)

Usai berbincang di kantor Petinggi Desa Tegalsambi, kami melihat keadaan sekitar. Sebanyak 350 obor telah disiapkan. Obor dibuat dari blarak (daun kelapa kering) yang digulung menggunakan pelepah pisang sampai berdiameter 20 cm dan diikat pada sebatang bambu sepanjang 3 m.

Sebelum perang, sekitar pukul setengah delapan malam dilakukan kirab. Mengenakan pakaian adat Jawa, Petinggi Desa Tegalsambi diarak bersama pawang api dan sesepuh desa. Prosesi ini dimulai dari rumah sang petinggi hingga ke perempatan jalan desa, lokasi utama tradisi Perang Obor berlangsung.

Pejabat (Pj) Bupati Jepara Edy Supriyanta menerima Majalah MATA Edisi "Perang Obor" dari Pemimpin Umum Yayasan Fotografi Indonesia, Andi Kusnadi (5/6/2023)

Dalam sambutannya, Pejabat (Pj) Bupati Jepara Edy Supriyanta berharap, Perang Obor mampu mengangkat perekonomian masyarakat desa. “Pengakuan pemerintah pusat menjadi semangat bagi warga Tegalsambi dan pemerintah daerah untuk menjadikan atraksi budaya ini sebagai sarana promosi pariwisata di Kabupaten Jepara,” kata Edy.

Obor pertama oleh Pejabat (Pj) Bupati Jepara Edy Supriyanta disulut, disusul para peserta. Perang dimulai. Panasnya percikan api serta sesaknya asap dari pembakaran obor tentu berbahaya. Alih-alih bergidik, penonton justru memprovokasi dan bersorak.

Perang berlangsung sekitar satu jam. Para peserta kembali ke rumah Petinggi Desa Tegalsambi untuk mengolesi tubuh mereka dengan minyak londoh, sejenis minyak dari kembang telon kering yang diberi doa-doa dan laku khusus.

Teks: Lillaah Khakimah
Foto: Andi Kusnadi
Editor: Farid Wahdiono