Sertifikasi Profesi Fotografi : Membahas Pendapat Skeptis Sampai Hal-hal Teknis
Kamis, 2 November 2023 | 18:38 WIB

Sertifikasi Profesi Fotografi di Hotel Kotta, Semarang pada Minggu (30/07)
fotograferindonesia.com - Sebenarnya apa yang membedakan fotografer amatir dan profesional? Segi pendapatan? Atau teknik-teknik yang digunakan?
Steven Pressfield, penulis Amerika, berpendapat bahwa perbedaan seorang amatir dengan profesional sepenuhnya didasarkan pada pola pikir dan kebiasaan mereka. Amatir cenderung mudah teralihkan dan mempelajari sesuatu hanya sebatas permukaan, sedangkan profesional bekerja dengan fokus tinggi, bahkan sampai mendalaminya.
Dalam konteks fotografi terdapat sertifikasi. Melalui skema ujian berbasis kompetensi, sertifikasi dikeluarkan Badan Nasional Standar Profesi (BNSP) sebagai bukti formal atas kemampuan fotografer yang diakui secara sah oleh negara.
Sertifikasi memiliki manfaat baik bagi pengguna jasa fotografi maupun fotografernya sendiri. Bagi pengguna jasa fotografi, ia dapat dengan mudah menentukan fotografer dengan keahlian sesuai kebutuhannya; sementara bagi fotografer, selembar sertifikat profesi berguna untuk memproteksi kewenangan saat bekerja.
Artinya, bila seorang fotografer dengan kemampuan A yang dibuktikan melalui sertifikat profesi A, maka ia hanya boleh melakukan pekerjaan lingkup kompetensi A atau lebih rendah. Selain dianggap tertib administrasi, memiliki sertifikasi profesi juga diklaim menjadi poin plus perusahaan (pengguna jasa fotografi) yang pendanaannya bersumber dari pemerintah atau negara.

Yayasan Fotografi Indonesia bekerja sama dengan Lembaga Sertifikasi Profesi Fotografi Indonesia (LPSFI)
Meski begitu, masih terdapat silang pendapat perihal sertifikasi profesi fotografi. Salah satunya anggapan bahwa sertifikasi hanyalah ‘barang dagangan atau proyek’ segelintir pihak yang kemudian dirangkum dalam sebuah kebijakan/aturan. Berikut perbincangan penulis dengan dua narasumber, Marrysa Tunjung Sari sebagai perwakilan fotografer bersertifikasi dan Rasyid Ridha yang merupakan asesor di Lembaga Sertifikasi Profesi Fotografi Indonesia (LSPFI).
Hai, Mbak Sasha (sapaan akrab Marrysa Tunjung Sari). Waktu itu apa sih alasan atau tujuan Mbak Sasha ikutan ujian sertifikasi profesi?
Dalam melakukan sesuatu, umumnya kita akan mempertanyakan apa fungsi/tujuan dari hal tersebut. Kebetulan saat itu aku bertemu dengan Ir. Priadi Soefjanto alias Mas Pri, sapaan akrabnya yang menjelaskan tentang fungsi dari sertifikasi profesi fotografi. Menggunakan bahasa yang begitu mudahnya, beliau menerangkan jika sertifikasi profesi fotografi dapat menunjang kelancaran dalam bekerja. Menjadi seorang penyedia jasa fotografi, kita tidak mungkin menebak klien mana yang akan membutuhkannya. Akhirnya aku putuskan mengambil sertifikasi profesi fotografi untuk memenuhi kebutuhan klien, juga sebagai jaminan atas kompetensi yang bisa dipertanggungjawabkan kepada orang yang menggunakan jasa fotoku.
Sebagai fotografer yang bersertifikasi, seberapa penting Sertifikat Profesi Fotografi di tahun 2023?
Peluang/potensi dari sertifikasi profesi menurutku sudah menjadi topik yang diperhatikan belakangan ini. Namun seberapa penting, belum menjadi kebutuhan pokok karena itu bergantung prioritas masing-masing fotografer. Apakah dengan membayar sejumlah rupiah akan menjadi kendala dalam menjalankan kegiatan operasional? Kalau jawabannya tidak, yaudah monggo karena bagi kita (fotografer) yang terpenting bisa bekerja dan dibayar. Berbeda halnya dengan prewedding yang memiliki ‘kekhususan’ tersendiri. Pun outdoor photography genre yang sertifikasi profesinya bisa mencakup sertifikasi-sertifikasi lain, sebut saja keamanan untuk fotografi industri.

Sertifikasi profesi di Hotel Kotta, Semarang
Pendapat Mbak Sasha mengenai anggapan ‘proyek’ Sertifikasi Profesi Fotografi?
Dulu aku termasuk orang yang sangat skeptis terhadap sertifikasi, tapi bukan perkara ‘proyek’ melainkan memang belum ada penjelasan efektif tentang kegunaannya. Jika ditanya apakah sertifikasi sebuah ‘proyek’? Iya, bagaimana pun sertifikasi sebuah proyek. Proyek yang dibutuhkan oleh pengguna jasa fotografi untuk mengetahui bahwa fotografer yang dipekerjakan telah memenuhi standar.
Analoginya, seperti kita membayar pajak. Setelah pemberitaan penyelewengan pajak yang sempat ramai kemarin, apakah kemudian kita merasa tidak perlu membayar pajak? Tentu kita tetap harus membayar pajak toh. Menyoal siapa oknum yang bermain di belakangnya adalah satu hal di luar kewenangan kita.
Jadi sebenarnya, semua kembali pada tiap individu yang terlibat di dalamnya. Skeptis boleh saja, tapi bukan berarti kita langsung antipati. Justru itulah yang seharusnya membuat kita lebih selektif untuk mencari tahu dan menimbang saat memilih lembaga penyelenggara sertifikasi profesi fotografi.

Persiapan asesmen sertifikasi profesi fotografi di Focus Nusantara, Jakarta (24/9)
Apa yang menjadi pertimbangan Mbak Sasha dalam memilih lembaga Sertifikasi Profesi Fotografi?
Pertimbangannya masing-masing ya, kalau aku harus melihat dulu orang yang berada di belakang/lembaganya. Apakah dia bisa menjelaskan secara efektif tentang sertifikasi beserta fungsi juga detailnya. Dalam sejarahnya kita juga bisa browsing ya, seperti berapa jumlah sertifikasi yang telah dikeluarkan, berapa lama prosesnya, jenjang levelnya, sampai bagaimana cara mereka meng-handle kebutuhan kita (fotografer). Prinsipnya, harus tahu apa yang kita bayar, apa yang akan kita ikuti, dan apa yang akan kita tanda tangani. Sehingga kita bisa memilih lembaga sertifikasi profesi yang tepat, bertanggung jawab, dan amanah.

Peserta sertifikasi profesi fotografi yang diadakan Yayayasan Fotografi Indonesia bersama LPSFI di Focus Nusantara, Jakarta (24/9)
Dijelaskan Rasyid Ridha, di samping sertifikat profesi terdapat juga sertifikat kompetensi. Keduanya memegang amanat dan peraturan yang sama. Melalui Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSK) yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sertifikat kompetensi ditujukan untuk kesetaraan pendidikan.
“Sertifikasi berlaku tiga tahun, karena fotografer wajib merawat kompetensi dengan mengikuti perkembangan zaman profesinya. Saat ini Lembaga Sertifikasi Profesi Fotografi Indonesia (LSPFI) mempunyai tiga skema sertifikasi. Yaitu Fotografer Junior, Olah Digital, dan Pemotret Pasfoto/Profil,” ucap Rasyid Ridha ketika berbincang lewat aplikasi daring.

Asesor Sertifikasi Profesi Fotografi
Siapa yang berhak menguji peserta sertifikasi profesi serta kompetensi apa yang harus dimiliki?
Perlu diketahui, dalam ujian sertifikasi profesi menggunakan metode asesmen yang mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) berdasarkan Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 203 dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2004.
Yang berhak melakukan asesmen adalah Asesor. Adapun kemampuan yang harus dimiliki tidak lain adalah kompetensi teknis (bidang yang dikuasai), termasuk mengumpulkan serta mengelola kompetensi peserta berdasarkan unit bukti, aspek bukti, aturan bukti, prinsip asesmen, dan dimensi kompetensi.
Bagaimana tanggapan Bang Acid (sapaan akrab Rasyid Ridha) mengenai komentar ‘proyek’ Sertifikasi Profesi Fotografi?
Lembaga Sertifikasi Profesi wajib menghidupi dirinya sendiri, seperti juga bidang usaha lainnya. Hal ini tertuang dalam peraturan BNSP tentang LSP layaknya lembaga pendidikan atau sekolah swasta yang wajib menghidupi dirinya.

Proses asesmen dalam kegiatan sertifikasi profesi fotografi yang diadakan YFI bersama LSPFI di Hotel Kotta, Semarang
Pertanyaan terakhir, bang, titipan teman-teman. Apakah sertifikasi profesi yang digelar oleh Yayasan Fotografi Indonesia sama dengan terbitan LSP?
Lembaga Sertifikasi Profesi Fotografi Indonesia dapat bekerja sama dengan pihak mana pun untuk melaksanakan asesmen. Penyelenggaraan program sertifikasi profesi Yayasan Fotografi Indonesia (YFI) bekerja sama dengan LSPFI, sehingga sertifikat yang diterbitkan tetap sama.
Terima kasih, Mbak Sasha dan Bang Acid! Semoga perbincangan kita dapat memberi perspektif baru kepada teman-teman fotografer yang masih kebingungan atau ragu untuk mengikuti ujian sertifikasi profesi fotografi.
Yayasan Fotografi Indonesia memberi layanan cepat dalam mendapatkan sertifikasi profesi fotografi. Kegiatan pertamanya di Hotel Kotta, Semarang pada Minggu (30/7). Diikuti tiga belas peserta, sertifikat dapat diterima dalam tempo 2-3 minggu setelah ujian asesmen. Bahkan dalam gelaran kedua, peserta bisa mendapatkan sertifikat profesinya hanya dalam 11 hari dari pelaksanaan ujian yang bertempat di Focus Nusantara, Jakarta (24/9).
Jadi, apakah kamu sudah siap menjadi fotografer bersertifikasi? Tunggu kami di kota-kota selanjutnya, ya. Selamat berjumpa di lain kesempatan.
Teks : Lillaah KhakimahEditor : Farid Wahdiono